Jumat, 24 Oktober 2014

MAKALAH PIDANA POGING (PERCOBAAN TINDAK PIDANA)

PERCOBAAN PERBUATAN PIDANA (POGING)
Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah
“HUKUM PIDANA”
Dosen Pembimbing :
H. Ach. Fajruddin Fatwa S.H, M.HI

uin sunan ampel surabaya.jpg
Oleh:
MUHAMMAD IMAM SYAFI’I                 :           C71213125
MUHAMMAD FIKRI IZZUDDIN                        :           C71213127    
MUHAMMAD ROFIQUL UMAM                        :           C71213128
        
       UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
FAKULTAS SYARI’AH
JURUSAN AHWALUL AL-SYAKHSIYAH (AS)
2014
BAB II
PEMBAHASAN
A.  Percobaan Perbuatan pidana (Poging)
Percobaan melakukan kejahatan diatur dalam Buku ke satu tentang Aturan  Umum, Bab 1V pasal 53 dan 54 KUHP. Adapun bunyi dari pasal 53 KUHP berdasarkan terjemahan Badan Pembina Hukum Nasional Departemen Kehakiman adalah sebagai berikut:
Pasal 53
1.    Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk  itu  telah ternyata dari adanya permulaan  pelaksanaan,  dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri.
2.    Maksimum pidana pokok  terhadap kejahatan, dalam percobaan dikurangi sepertiga.
3.    Jika kejahatan diancam  dengan  pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
4.    Pidana tambahan bagi percobaan sama dengan kejahatan selesai.[1]
Pasal 54 KUHP menyatakan bahwa pelaku percobaan hanya dapat dijatuhi pidana jika perbuatan pidana yang coba dilakukan dikategorikan sebagai kejahatan, sedangkan apabila perbuatan pidana yang coba dilakukan dikategorikan sebagai pelanggaran, maka pelakunya tidak dipidana. Dengan kata lain, mencoba melakukan pelanggaran tidak dipidana.[2]
Menurut wijono Projodikoro Pada umumnya kata percobaan atau poging berarti suatu usaha mencapai suatu tujuan, yang pada akhirnya tidak atau belum tercapai. Dalam hukum pidana percobaan merupakan suatu pengertian teknik yang memiliki banyak segi atau aspek. Perbedaan dengan arti kata pada umumnya adalah apabila dalam hukum pidana dibicarakan hal percobaan, bebarti tujuan yang dikejar tidak tercapai.[3]
Menurut MvT (memorie van toelichting = penjelasan UU) ialah sebuah kalimat yang berbunyi: ”poging tot misdrijf is dan de bengonnen maar niet voltooide uitveoring van het misdrijf, of wel door een begin van uitveoring geopenbaarde wil om een bepaald misdrijf te plegen[4] yang artinya adalah suatu kehendak seseorang untuk melakukan tindaka pidana yang telah tampak terwujud dengan permulaan pelaksanaan (tapi belum selesai juga).[5]
Dari beberapa pendapat para ahli diatas dapat disimpulkan Poging adakalanya suatu kejahatan telah mulai dilakukan, tetapi tidak dapat diselesaikan sesuai dengan maksut si pelaku. Misalnya,
a.    A bermaksut mencuri dirumah X. Dengan membongkar dan merusak jendela, A masuk kerumah X, tetapi karena X terbangun dan jendela terbuka, A kepergok dan ditangkap oleh petugas ronda.
b.    B adalah seorang copet, pada saat memasukan tangan ke kantong R, ia ketangkap.
Kedua contoh diatas memperlihatkan bahwa maksud pelaku belum terlaksana yaitu X dan R belum kehilangan sesuatu. Meskipun deemikian, perbuatan A dan B merupakan perbuatan yang membahayakan kepentingan orang lain yang dilindungi oleh hukum dan layak diancam dengan hukuman.
a.    Teori Subjektif
Menurut teori ini, kehendak berbuat jahat dari si pelaku ini merupakan dasar ancaman hukuman. Si pelaku telah terbukti mempunyai kehendak jahat dengan memulai melekukan kejahatan tersebut.
b.    Teori Objektif
Menurut teori ini, dasar ancaman hukuman bagi sipelaku percobaan adalah karena sifat perbuatan pelaku telah membahayakan.[6]
B.  Syarat (Unsur-Unsur) Percobaan
Berdasarkan rumusan pasal 53 ayat (1) disimpulkan unsur-unsur tindakan  yang disebut sebagai percobaan, yaitu:


1.    Adanya Niat
Di dalam teks bahasa Belanda niat ini adalah “Voornemen”yang menurut doktrin tidak lain adalah kehendak untuk melakukan kejahatan, atau lebih tepatnya disebut “opzet” atau kesengajaan (Hazewinkel – suriga; Jonkers; pompe; simons), dan ini meliputi semua atau dengan sadar kemungkinan. Namun menurut vos yang dimaksud dengan kesengajaan diini adalah hanya kesengajaan sebagai maksud.[7]
Niat merupakan suatu keinginan untuk melakukan suatu perbuatan, dan ia berada di alam batiniah seseorang. Sangat sulit bagi seseorang untuk mengetahui apa niat yang ada didalam hati orang lain. Niat seseorang akan dapat diketahui jika ia mengatakanya pada orang lain. Namun niat itu juga dapat diketahui dari tindakan (perbuatan) yang merupakan permulaan  dari pelaksanaan niat. Oleh karena itu dalam percobaan, niat seseorang untuk melakukan percobaan dihubungkan dengan permulaan pelaksanaan.[8]
2.    Adanya Permulaan Pelaksanaan
Kehendak atau niat saja belum mencukupi agar orang itu dapat dipidana, sebab jika hanya berkehendak saja maka orang itu tidak diancam pidana, berkehendak adalah bebas. Permulaan pelaksanaan berarti telah terjadinya perbuatan tertentu.[9]
Dalam hal ini, telah dimulai pelaksanaan suatu perbuatan yang dapat dipandang sebagai salah satu unsur dari norma pidana, misalnya: kehendak mencuri atau mengambil barang milik orang lain mulai diwujudkan misalnya, telah memasuki rumah atau pencopet telah memasukan tangan kekantong orang yang hendak dicopet[10]
Ada beberapa teori yang menjelaskan permulaan pelaksanaan, atara lain:
a.    Teoro subyektif (G. A. Van HAMEL)
Adanya permulaan pelaksanaan perbuatan jika dipandang dari sudut niat ternyata tetap niatnya ini. Dalam ajaran yang berorientasikan mental ini, di anggap cukup kalau pembuat di waktu melakukan perbuatan menunjukkan sikap berbahayanya dan bahwa dia sanggup menyelesaikan kejahatan.
b.   Teori obyektif (D. Simons)
Di isyaratkan bahwa pembuat harus melakukan segala sesuatu untuk menimbulkan akibat tanpa campur tangan siapapun, kalau tidak dihalangi oleh kejadian yang bukan karena kehendaknya.[11]
Perbuatan pelaksanaan harus dibedakan dengan perbuatan persiapan.
a.       Perbuatan pelaksanaan menurut Hoge Raad
perbuatan pelaksanaan adalah perbuatan yang hanya menurut pengalaman orang dengan tidak dilakukan perbuatan lagi, akan menimbulkan pembakaran, dapat dipandang sebagai perbuatan pelaksana.[12]
b.      Perbuatan persiapan
Perbuatan persiapan adalah segala perbuatan yang mendahului perbuatan permulaan pelaksanaan, misalnya membeli senjata yang akan dipakai membunuh orang. Perbuatan-perbuatan persiapan tidak termasuk perbuatan pidana.
3.    Keadaan, yakni tidak selesainya pelaksanaan bukan karena keinginan dalam dirinya.
kejahatan yang telah dimulai pelaksanaanya oleh seseorang tersebut, akhirnya tidak selesai yang disebabkan oleh sesuatu yang diluar dirinya atau bukan atas kehendak sendiri. Misalnya, A hendak mencuri dirumah P. Setelah diamatinya, A berencana masuk kerumah P melalui jendela samping yang nampaknya mudah dirusak demikianlah, A mulai melakukan aksinya, namun pada saat merusak jendela rumah petugas ronda malam mempergokinya sehingga ditangkap.[13]
C.  Poging Yang Tidak Mungkin (Ondeugdelijk Poging)
Poging tidak mungkin terdapat apabila seseorang telah melakukan perbuatan yang dikehendaki untuk menyelesaikan kejahatan, akan tetapi kejahatan itu tidak dapat terselesaikan, dikarenakan percobaan untuk melekukan kejahatan yang dilakukan dengan sarana yang tidak memiliki potensi untuk menimbulkan akibat.
            Tidak mungkinya atau tidak dapatnya kejahatan itu diselesaikan, dapat disebabkan oleh objeknya, Akan tetapi juga mungkin dengan sasaranya. Ketidakmampuan itu dapat dibagi menurut sifatnya yaitu,
Ø  Mutlak tidak mampu
Ø  Relatif tidak mampu
1.    Percobaan tidak mampu karena objeknya tidak sempurna yang dibedakan antara:
a.    Objek yang tidak sempurna absolut: melakukan perbuatan untuk mewujudkan suatu kejahatan mengenai objek tertentu yang ternyata tidak sempurna, dan oleh karena itu maka kejahatan tidak terjadi dan tidak mungkin dapat terjadi. Contoh : membunuh mayat.
b.    Objek yang tidak sempurna relatif: melakukan perbuatan yang ditujukan untuk mewujudkan kejahatan tertentu pada objek tertentu, yang pada umumnya dapat tercapai, tetapi dalam keadaan khusus tertentu objek tersebut menyebabkan kejahatan tidak terjadi. Contoh : membobol brankas yang kebetulan sedang tidak ada isinya.
2.    Percobaan tidak mampu karena alatnya yang tidak sempurna dibedakan antara:
a.    alatnya yang tidak sempurna absolut: melakukan perbuatan dengan maksud mewujudkan kejahatan, dengan menggunakan alatnya yang tidak sempurna mutlak, maka kejahatan itu tidak terjadi, dan tidak mungkin terjadi. Perbuatan ini tidak dapat melahirkan tindak pidana. Syarat-syarat yang telah ditentukan dalam pasal 53 ayat (1) tidak mungkin ada dalam alat yang tidak sempurna mutlak. Contoh : menembak orang dengan senjata api yang tak berpeluru.
b.    Alatnya yang tidak sempurna relatif: melakukan perbuatan dengan maksud mewujudkan kejahatan dengan menggunakan alat yang tidak sempurna relatif, artinya kejahatan dapat terjadi dan dapat dipidana. Contoh : meracuni orang dengan dosis kurang.[14]
D.  Sanksi Terhadap Percobaan
Sanksi terhadap percobaan di atur dalam pasal 53 ayat (2) dan ayat (3) yang berbunyi sebagai berikut:
(2) maksimal hukuman pokok atas kejahatan itu dalam hal percobaan dikurangi dengan sepertiga.
(3) kalau kejahatan itu di ancam dengan hukuman mati atau penjara seumur hidup, maka di jatuhkan hukuman penjara paling lama lima belas tahun.
Hukuman bagi percobaan sebagaimana diatur dalam Pasal 53 ayat (2) dan ayat (3) KUHP dikuranggi sepertiga dari hukuman pokok maksimum dan paling tinggi lima belas tahun penjara.[15]
Didalam ayat (2) dari Pasal 53 KUHP ditentukan bahwa hukuman yang dapat dikenakan atas perbuatan percobaan ialah maksimum hukuman pokok atas suatu kejahatan diancam hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup, maka terhadap perbuatan percobaannya diancamkan hukuman maksimum lima belas tahun penjara.[16]
Dalam hal percobaan maksimum ancaman hukuman (bukan yang dijatuhkan) pada kejahatan dikurangkan dengan sepertiganya, ancaman hukuman mati atau penjara seumur hidup diganti dengan hukuman penjara maksimum lima belas tahun, akan tetapi mengenai hukuman tambahan sama saj halnya dengan kejahatan yang selesi dilakukan.[17]

E.  Percobaan Yang Tidak Diancam Dengan Sanksi
Tidak semua percobaan melakukan kejahatan diancam dengan sanksi. Ternyata KUHP mencantumkan hal tersebut dengan membuat rumusan bahwa percobaan untuk melakukan tindak pidana tertentu tidak dapat dihukum antara lain :
a.    Pasal 184 ayat (5) KUHP, percobaan melakukan perkelahian tanding antara seseorang lawan seseorang.
b.    Pasal 302 ayat (4) KUHP, percobaan melakukan penganiayaan ringan terhadap binatang
c.    Pasal 351 ayat (5) KUHP dan pasal 352 ayat (2), percobaan melakukan penganiayaan dan penganiayaan ringan.
d.   Pasal 54 KUHP, percobaan melakukan pelanggaran, tidak boleh dihukum.
F.   Percobaan Sebagai Delik Tersendiri
Hal ini bermakna bahwa percobaan disamakan dengan delik. Dalam KUHP dirumuskan bahwa percobaan merupakan delik, antara lain:
1.    Pasal-pasal 104-107, 139a, dan 139b KUHP, yakni mengenai makar. Hal ini dirumuskan dalam pasal 87 KUHP yang berbunyi:
“dikatakan ada makar untuk melakukan suatu perbuatan apabila niat untuk itu sudah nyata dengan permulaan melakukan perbuatan itu, seperti dimaksud dalam pasal 53.”
2.    Pasal-pasal 110, 116, 125, dan 139c KUHP, yakni tentang permufakatan jahat. Hal ini dirumuskan oleh pasal 88 KUHP yang berbunyi:
“dikatakan ada permufakatan jahat apabila dua orang atau lebih bersama-sama sepakat akan melakukan kejahatan itu.”
Perbuatan persiapan yang secara umum, pelakunya tidak dapat dihukum. Namun, pada pasal 250, 261, dan pasal 275 KUHP dirumuskan sebagai delik. Untuk jelasnya perlu dicermati pasal-pasal tersebut, yakni
a.       Pasal 250 KUHP yang berbunyi:
“barang siapa membuat atau menyediakan bahan atau barang yang diketahuinya bahwa itu disediakan untuk meniru, memalsukan atau mengurangi harga mata uang, atau meniru memalsu uang kertas negeri atau uang kertas bank, dihukum penjara selama-lamanya enam tahun…”
b.      Pasal 261 KUHP yang berbunyi:
barang siapa menyimpan bahan atau benda, yang diketahuinya bahwa diperuntukan untuk melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 253 atau dalam pasal 260 berhubungan dengan pasa 253, diancam…”
c.       Pasal 275 KUHP, bunyinya:
(1)  Barang siapa yang menyimpan bahan atau barang yang diketahuinya akan digunakan untuk salah satu kejahatan diterangkan dalam pasal 264 No.2-5, dihukum….[18]






BAB III
KESIMPULAN
Dari analisa rumusan masalah dan keterangan diatas dimakalah ini dapat diperoleh suatu kesimpulan mengenai percobaan perbuatan pidana, yaitu
1.    Percobaan adalah suatu usaha untuk mencapai suatau tujuan, yang pada akhirnya tidak atau belum terjadi. Menurut wijono Projodikoro Pada umumnya kata percobaan atau poging berarti suatu usaha mencapai suatu tujuan, yang pada akhirnya tidak atau belum tercapai. Dalam hukum pidana percobaan merupakan suatu pengertian teknik yang memiliki banyak segi atau aspek. Perbedaan dengan arti kata pada umumnya adalah apabila dalam hukum pidana dibicarakan hal percobaan, bebarti tujuan yang dikejar tidak tercapai.
2.    Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk percobaan perbuatan pidana adalah
a.       Adanya niat
b.      Adanya permulaan pelaksanaan
c.       Keadaan, yakni Tidak selesainya pelaksanaan bukan karena keinginan dalam dirinya.
3.     Pada hakekatnya pasal 53 dan 54 selalu dihubungkan dengan pasal-pasal lain yang merujuk pada perbuatan tersebut.


DAFTAR PUSTAKA
Ali, Mahrus. 2012. Dasar-Dasar Hukum Pidana, Jakarta: SINAR GRAFIKA
Kartanegara, Satochid. Tanpa tahun. Hukum Pidana, Jakarta: Balai Lektur Mahasiswa
Lamintang, 1997 Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: PT. Citra Abadi Bakti
Merpaung, Leden, 2008. Asas – Teori – Praktik Hukum Pidana, Jakarta: SINAR GRAFIKA
Projodikoro, Wijono 1989 Aas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung: PT. Eresco
Prasetyo, Teguh, 2013. Hukum Pidana, Depok: P.T. Raja Grafindo Persada
Soesilo, R. 1991. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Bogor: POLITE
Soesilo, R. 1984 Pokok-pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik Khusus, Bandung: PT. Karya
S.T. Christine Kansil,2007. Latihan Ujian Hukum Pidana, Jakarta: SINAR GRAFIKA
Treslan, R. 1994,  Asas-asas Hukum Pidana, Yogjakarta: UNPAD


[1] R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Bogor: POLITEA, 1991). 
[2] Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta: SINAR GRAFIKA, 2012). 115
[3] Wijono Projodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, (Bandung: PT. Eresco, 1989). 97
[4] Christine S.T. Kansil, Latihan Ujian Hukum Pidana, (Jakarta: SINAR GRAFIKA, 2007). 143
[5] Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: PT. Citra Abadi Bakti, 1997), hal. 536
[6] Leden Merpaung, Asas – Teori – Praktik Hukum Pidana, (Jakarta: SINAR GRAFIKA, 2008). 94
[7] Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, (Depok: P.T. Raja Grafindo Persada, 2013). 154
[8] Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana. 117
[9] Teguh Prasetyo, Hukum Pidana. 157
[10] Leden Merpaung, Asas – Teori – Praktik Hukum Pidana. 95
[11] Satochid Kartanegara, Hukum Pidana, (Jakarta: Balai Lektur Mahasiswa, Tanpa Tahun). 370
[12] Leden Merpaung, Asas – Teori – Praktik Hukum Pidana.98
[13] Ibid. 96
[14] Teguh Prasetyo, Hukum Pidana.158
[15] Leden Marpaung, Asas Teori Praktek Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hal. 97
[16] R. Treslan, Asas-asas Hukum Pidana, (Yogjakarta: UNPAD, 1994), hal. 87
[17] R. Soesilo, Pokok-pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik Khusus, (Bandung: PT. Karya, 1984), hal. 82
[18] Leden Merpaung, Asas – Teori – Praktik Hukum Pidana. 97-98

Tidak ada komentar:

Posting Komentar